Biografi Nafsu Manusia

Penulis: Wawan Susetya
Penerbit: Diva Press
Harga: Rp 35.000,-

Mengenal, mengelola, dan menaklukkan gelegar hawa nafsu dalam jiwa

a hawa nafsu yang buruk dengan setan (iblis) laknatullah!

Bagi kaum muslimin yang berpegang teguh kepada kitabullah al-Qur’an, tentu tak asing dengan firman Allah Swt (QS Asy-Syams [91]: 9-10): “....sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Sementara, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt adalah Dzat yang baik (suci), maka Dia tidak akan menerima (sesuatu), kecuali yang baik (suci).” (HR Imam Muslim).

Dan, nampaknya tak terelakkan lagi bahwa dalam kehidupan ini terdiri dari dua golongan; yakni golongan baik dan golongan jahat (buruk). Golongan kanan dan golongan kiri. Atau golongan ahli surga dan golongan ahli neraka. Diturunkannya para Nabi/Rasul oleh Allah Swt ke muka bumi agar membimbing umat manusia ke jalan yang lurus atau jalan yang diridhai-Nya, tetapi di antara manusia ada yang mengikuti petunjuknya dan ada pula yang mengingkarinya. Yang mengingkari, tentu disebabkan oleh hawa nafsunya yang buruk! Mengapa mereka tidak mengikuti petunjuk Allah sebagaimana yang dianjurkan oleh para Nabi dan Rasul-Nya?!

Demikianlah bahwa orang-orang yang mengingkari bimbingan dan tauladan para Nabi/Rasul Allah, biasanya disebabkan karena ambisinya untuk penguasaan “Tiga ta”; yakni harta, tahta, wanita. Ini tidak main-main, karena mereka benar-benar menyimpan “Tiga ta” tersebut di dalam hatinya. Jika demikian, karena hatinya tidak dipergunakan untuk dzikrullah (mengingat Allah), maka apalagi yang akan dilakukan jika bukan bertindak secara machiavelli; yakni menghalalkan segala macam cara untuk meraih keinginannya?!

Itulah tabiat orang-orang yang berhati kotor, yakni hati yang diselubungi oleh hawa nafsu busuk. Dan, keadaan seperti itu pernah diisyaratkan oleh Rasulullah Saw yang diriwayatkan Ibn ‘Asakir dari Ibn Umar bahwa di akhir zaman ada kecenderungan bahwa orang tidak lagi memperhatikan rezekinya, apakah didapatkan dengan cara yang halal ataukah haram. Selain itu, Nabi Saw juga mengingatkan bahwa kelak akan ada ‘zaman fitnah’, yakni seorang pejabat tak lagi bisa dipegang amanatnya, banyak ulama yang hanya ahli berpidato, tetapi tidak mengamalkan ajaran agama, bahkan banyak gangguan dari orang lain, dan seterusnya.

Dalam buku ini, penulis menguraikan secara detail dan rinci mengenai seluk-beluk hawa nafsu dan bagaimana caranya menundukkan, melembutkan, menjinakkan atau mengarahkan hawa nafsu ke arah yang benar. Yang paling utama, tentu kaum muslimin harus berusaha mengenyahkan jauh-jauh ‘hijab spiritual’; yakni terpesona oleh kemolekan duniawi, bujuk-rayu atau godaan setan, larut dalam kesenangannya kepada sesama manusia dan hawa nafsu itu sendiri. Dan, di antara empat poin ‘hijab spiritual’ tersebut, yang paling berat dilakukan oleh pelaku spiritual adalah menundukkan hawa nafsu.

Dengan membaca lembar demi lembar buku ini, insyaallah para pembaca yang budiman akan mengetahui rahasianya; mengapa hawa nafsu merupakan unsur ‘hijab spiritual’ yang paling susah diantisipasi?

Tak ketinggalan pula, dalam buku ini penulis uraikan pula mengenai metafora atau perumpamaan mengenai hawa nafsu, yang kiranya sangat penting untuk diketahui. Begitu pula dengan tingkatan-tingkatan hawa nafsu, terutama untuk mengidentifikasi bagaimana proses perjalanan si hawa nafsu dalam diri pelaku spiritual. Dengan menyingkap tabir mengenai hawa nafsu, maka lama-kelamaan ia akan mengingat Allah (dzikrullah) dan ber-musyahadah (mengenang Allah dengan mata hati), sebagaimana diisyaratkan firman Allah (QS Ar Ra’d [13]: 28): “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Puncak perjalanan hawa nafsu seorang spiritualis, yakni setelah melampaui nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang), rodhiyah (puas atau ridha atas kehendak Allah) dan mardiyah (mendapatkan ridha Allah), maka kepribadiannya akan menjadi insan kamil (insan paripurna).

Lantas, bagaimanakah kita  menggambarkan hati yang berkepribadian insan kamil?

Dalam hal ini, simaklah penuturan Syech Yusuf yang mengatakan, “Bahwa insanul kamil atau khalifatullah adalah manusia yang senantiasa berdzikir (mengingat Allah) dalam segala posisi, dalam segala urusan, dalam segala kehendak. Dengan demikian, al-Haqq ta’ala senantiasa berada dalam kalbunya. Dengan demikian, maka al-Haqq memberikan kepadanya berbagai macam sifat-Nya. Seolah-olah hamba setelah berakhlak dengan akhlak-Nya menjadi Dia, dan menjadi khalifah-Nya dan menyerupai-Nya, karena Tuhan menciptakan Adam untuk dijadikan khalifah-Nya.”

Dalam hadits Qudsi, Allah Swt berfirman: “Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya.”

Hal itu mengisyaratkan bahwa “peperangan dahsyat” dalam diri manusia antara malaikat dan setan dimenangkan oleh malaikat! Dimenangkan oleh kebenaran (haq), sehingga yang bathil menyingkir dari dirinya. Demikianlah gambaran perjuangan para pelaku spiritual yang telah mencapai puncak spiritual, yakni insan kamil yang telah melampaui ‘terminal spiritual’ dan fase-fase perjalanan nafsu dalam dirinya.

Sekali lagi selamat membaca buku sederhana ini, semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sakti Mandraguna : Terjemah Manba'u Ushul Hikmah

Terjemah Kitab Abu Ma'syar Al Falaki : Ingin Mengetahui Nasib Anda

Doa Doa Jaljalut Kubro